SMAKBO, when miracle did happen.
“Ka, masuk sekolah itu tuh susah banget ya Ka?”
Adalah salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang seringkali muncul ketika gue menyebutkan asal SMA gue yang di Bogor itu.
Ada lagi pertanyaan spektakuler, yang selalu membuat gue merasa bersalah dan tertuduh.
“Berarti Kakak pinter dong ya sampe bisa masuk Smakbo?”
Pertanyaan ini biasa disertai pandangan dan decak kagum dari para penanyanya.
Hal yang miris memang ketika lu dipuji dan dibanggakan untuk sesuatu yang sama sekali ga lu banggain, bahkan ga pernah lu harapkan terjadi di hidup lu.
Masih teringat jelas di ingetan gue, tiap kali pengumuman penerimaan siswa/i baru ditempel di papan pengumuman, banyak bangeeet orang berbondong-bondong dateng cuma buat liat hasil pengumuman itu. Dari sekitar 1000an orang yang daftar, cuma sekitar 300 orang yang diterima. That’s fact! Melihat kenyataan semacam itu, adalah hal yang wajar kalu lu bakal liat banyak banget orang tua dan anak yang nangis liat hasil pengumuman itu.
Hal ini jelas KONTRAS beda banget sama apa yang sekitar 10 taon lalu gue alamin, waktu gue nangis sesegukan seharian begitu tau kalu gue DITERIMA masuk situ, sekolah paling merenggut masa muda di jamannya (begitu beberapa temen gue menyebutnya). Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor dengan basis sistem pendidikan selama 4 taon yang katanya setara sama D1 pas lulus dan dinobatkan menjadi seorang analis kimia begitu lulus.
Gue nangis gegerungan, sama sedihnya kayak waktu kehilangan Blackberry baru gue. Tapi yang ini lebih tragis, secara masa muda gue terasa terenggut seutuhnya. Lebay tingkat dewi yang gue rasa waktu itu masih belum bisa hilang, bahkan bertubi-tubi menghantui gue selama 4 taon berada di sekolah misterius itu.
“Hah? Apaaaaaaaaaaaaa?”
Adalah teriakan membahana dan menggelegar di suatu komplek perumahan yang damai, dimana rumah gue merupakan sumber keributan itu berasal.
Hal ini terjadi waktu nyokap gue menyampaikan berbagai argumentasi seputar alasan doi memaksa gue masuk sana. Selanjutnya, sudah hampir bisa ditebak, gue nyaris kehilangan harapan gue, kehilangan pacar cinta monyet jaman SMP gue, yang akhirnya memilih putus karena prihatin sama kehidupan keras dan sibuk di smakbo. #galau pun dimulai#
Tahun pertama,
MOS menyambut gue dengan siksaan dan berbagai kegilaan yang menyiksa jiwa raga gue. Aliran aer mata pas dibentak-bentak alumni dan berbagai siksaan laennya membuat gue yakin kalau gue udah salah masuk sekolah. Ditambah rok jaman SMP gue yang notabene pendek membuat gue semakin menjadi bulan-bulanan massa.
Gue menggila.
Belum lagi bahan-bahan dan barang-barang yang harus gue bawa selama MOS. Berikut listnya :
- Susu Republik Indonesia berkonsentrasi tinggi dalam kantong (susu Bendera sachet)
- 5,2 sendok teh kristal tebu (gula pasir)
- Buah iso amil asetat 13 cm (pisang, susah bener nyari yang pas segitu panjangnya)
- Natrium Silikon polikromatik dalam kertas nasi (Natrium = Na, Silikon = Si, It means NaSi)
- Buah yang rasa dan namanya sama (asem)
- Makanan ringan dalam bentuk benzene (segi enam macem piatos)
- Cakram ringan suci dan berlubang (kerupuk putih yang bolong-bolong)
- Roti rasa etil butirat (semaput nyarinya ternyata roti rasa nanas)
- Telor mata campur (telor dadar)
- Buah hasil upacara (apel)
- Kayu bakar 3 sisi dengan panjang 10 cm, diameter 5,2 cm sebanyak 5 batang
- Gula merah dengan panjang 52 mm, diameter 30 mm (ya kali lu kudu ngitungin begituan)
- Teh manis anget pake es dengan label X-tra MOS anti air (tinggal bikin label tulisannya es teh manis anget terus ditutup pake selotip berlapis-lapis)
- Kacang kumis berlumur aspal (ini tuh tempe dikecapin)
- Makanan di balik pot (coklat merk TOP)
- Sayur ngantuk (sayur kangkung yang katanya mengandung suatu zat kimia bikin ngantuk)
- Dihidrogen monoksida dalam tempat air mineral dalam label X-Tra MOS (air mineral, H2O)
- dan lain lain
Belom lagi karena gue angkatan ke-52, tiap hari rambut gue kudu dikuncir 5 di atas, 2 di bawah, begitu sebaliknya dan seterusnya. Semua tugas itu sukses bikin gue nyaris ambeien, susah tidur, stress, mau pingsan. Efek terbaiknya hanyalah gue semakin pinter dan jago maen tebak-tebakan.
Lebih menggila lagi ketika menemukan jati diri gue bersama 24 orang aneh yang tergabung dalam kelas perintisan berstandar internasional nan konyol. Tapi berkat kekonyolan mereka itulah, gue bisa belajar mulai menerima keadaan kalo gue ada di situ, sekolah yang “dianggap” spektakuler sama cukup banyak orang. Tahun pertama gue di Smakbo, gue masih bisa ngikutin hampir semua pelajaran dengan baik. Bekal otak gue yang tergolong lumayan selama di SMP menjadi harapan baru dalam hidup gue. Sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan meluluhlantahkan segalanya.
Tepatnya sekitar 6 bulan pertama gue masuk SMAKBO, beberapa hari setelah Imlek, terjadi kekacauan HEBAT di lab, yang kabarnya langsung menyebar pada telinga se-antero jagat SMAKBO dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Hal ini jugalah yang menjadi pedoman dasar di awal tahun ajaran kalu KIMIA itu memang BUKANlah bagian dari hidup gue.
Hari itu langit cerah, tingkah laku anak-anak dan guru yang ada di lab pun normal, tidak ada sedikitpun hal-hal aneh yang terjadi, semua sangat berhati-hati saat memegang alat gelas dan bahan kimia di atas meja kerja masing-masing. Sebelum akhirnya seorang siswi lugu nan imut membuat kejadian yang selanjutnya menjadi rekor baru angkatan 52.
“Praaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!”
Sesuatu. Pecah. Berserakan. Semua penghuni lab terdiam dan shock akan peristiwa yang baru saja terjadi. Jantung mereka hampir melonjak keluar saat melihat bahwa yang pecah itu adalah tutup desikator. Sebenarnya gue agak-agak benci sama ni alat karena namanya mengandung unsur nama gue. DESIkator.
Well, kembali ke topik. Ya, GUE. Guelah yang membawa desikator berukuran cukup besar itu dan dengan kedodolan tingkat tinggi tidak memegang bagian tutupnya, sehingga menggelincir dengan indahnya dan mendarat dengan cantiknya di lantai lab. Semua mata tertuju padaku dan DESIkator-ku! Di tengah kepanikan tingkat dewa-dewi, hanyalah teman gue, Adam, yang dengan siaga membantu merapikan puing-puing kehancuran tersebut.
Sementara yang lain? Terdiam. Cengo. Mangap. Dan gue? Terpana. Terpesona akan keindahan puing-puing itu.
Ya, enggalah!
Gue langsung menghampiri ibu lab dan berkata, “Bu, itu harganya berapa ya? Kebetulan saya abis Imlek Bu.” Masih bisa nyengir-nyengir kayak biasa.
(semua kisah ini benar-benar terjadi, dan tanpa rekayasa)
Ibu itu lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa bangeet berbelitt-belit mengalihkan pembicaraan, sungguh terlihat ada unsur ketidaktegaan sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata keramat yang membuat hidup gue berhenti sejenak.
“Satu setengah juta, Dess,” dalam angka bisa ditulis 1.500.000,- (tahun 2006)
Gue pun terdiam beberapa detik, duit Imlek gue cuma 1 juta, itupun sudah terpakai sebagian. Minta duit ke nyokap bukanlah hal yang bijak mengingat semua itu adalah kedodolan gue sendiri. Secara gue masuk sekolah itu juga udah sekitar 9 juta, itu di jaman gue (2006). Sekolah kimia emang mahal dan …..!
Gue pun memutuskan untuk bayar 700 ribu beberapa hari kemudian dan sisanya akan dibayar dicicil berikutnya, yang entah kapan. Tapi berkat kegigihan gue dalam menabung, sebelum tahun kedua, semua udah lunas.
Satu juta lima ratus ribu rupiah. Jumlah uang yang cukup besar bagi seorang anak yang terpaksa masuk di sekolah antah berantah tanpa ada secuil pun keinginan dari dalam dirinya untuk mengenyam pendidikan di sana. Menyedihkan. Tragis memang. Ditambah kenyataan pahit, impian gue buat ganti hp terpaksa harus gue singkirkan jauh dari angan.
Belum lagi kejadian tragis yang menimpa teman gue, si Johan. Pada saat gue memijarkan cawan porselen nan imut pada meker yang bersuhu sekitar 700 derajat (menyaingi kompor), dan cawan menunjukkan tanda-tanda berpijar. Tiba-tiba Johan memberikan tangannya di depan mata gue. Gue bingung akan maksudnya. Gue dinginkan cawan porselen sepersekian detik, hingga warna jingga tanda-tanda pijarnya hilang lalu gue berikan tepat di atas telapak tangannya. Mukanya berubah. Tidak lagi datar seperti biasanya. Mukanya aneh. Dan dia bertanya kepada gue, “Des, ini cawan siapa?”
Gue pun menjawab, “Elu, Jo. Pinjem ya!” Ia pun menurunkan cawan yang baru saja berpijar di atas api itu dengan sangat perlahan ke atas meja kerja kami, berteriak mengaduh-aduh sambil berlari ke kotak obat.
Dengan muka polos tapi kuatir, gue pun berteriak-teriak, ”Sakit ya Jo? Emang panas gitu? Kan udah ga “oren” warnanya”
Dia kembali ke meja kerja kami dan berkata, “Heh, tau gak lu, kalu itu cawan lu, udah langsung gue lempar tadi, tapi karena itu punya gue, makanya gue taro pelan-pelan. Panas, dodol! Itu tuh meker kali, bukan teklu biasa yang kita pake manasin aer” (sambil meniup-niup tangannya)
Hal itu membuat gue terpukul. Gue merasa gagal sebagai seorang analis. Bahkan pengetahuan dasar yang gue punya tidak cukup kuat untuk membuat gue yakin bisa menjadi seorang analis. Gue pun merasa bersalah. Tapi sebelum penyesalan itu berlangsung, gue tertawa keras-keras di depan Johan. Menyadari kebodohan yang baru saja gue lakukan.
Selama semingguan, gue sibuk menanyakan keadaan tangannya, dimulai dari melepuh, membengkak, mengandung air, pecah, dan agak kasar menjadi kapalan. Kasihan, pikir gue saat itu.
Dari situ, dia selalu mengingatkan dan membantu gue pada saat bekerja di lab. Mulai dari membereskan alat-alat lab hingga membantu mencuci alat-alat gelas di loker kami. Hanya karena satu alasan, Ia tau alat-alat gelas itu kurang bersahabat dengan gue.
Tahun pertama sudah dibuka dengan hal-hal ajaib kayak gitu. Taon kedua gue mulai kehilangan arah tujuan. Mecah-mecahin alat-alat lab bisa dibilang udah jadi semacam hobi sampingan bagi gue dan sebagian teman-teman gue yang lain.. Mecahin Erlenmeyer asah seharga 250 ribu bukanlah hal yang mencengangkan. Hanya retak, pikir gue pada saat awal-awal. Namun berujung pada keharusan menggantinya dengan yang baru. Kaca alas untuk bakteri yang akan dilihat pada mikroskop sudah sangat sering gue pecahkan. Bahkan alat-alat gelas lainnya telah menjadi makanan sehari-hari gue. Entah retak, pecah, membelah diri bahkan hilang tanpa jejak..
Tahun kedua, nilai gue ancur-ancuran. Semester kedua sempat menduduki posisi 10 besar, tapi kali ini dari urutan terbelakang. Sungguh menyedihkan. Tak ada lagi harapan.
Tapi keajaiban itu datang, sahabat-sahabat di kelas mulai mengingatkan gue bahwa kami masuk ber-24 dan akan keluar ber-24 juga. Ditambah komunitas baru di GO Bogor yang gue dapatkan membuat gue bertahan~
“Aku bertahan…” sama seperti lirik lagu yang dinyanyikan Rio Febrian. Kehadiran mereka menerpa semua kegalauanku.
Tahun ketiga bisa gue lalui dengan cukup baik, walaupun usaha yang cukup keras diperlukan untuk mempelajari berbagai pelajaran kimia yang membuat gue gila.
Dimulai dari Kimia Dasar, Kimia Lingkungan, Kimia Fisika, Kimia Farmasi, Kimia Pangan (Proksimat), Kimia Organik, Kimia Anorganik, Pengelolaan Bahan Kimia dan masih banyak lagi pelajaran-pelajaran Kimia yang harus gue pelajari selama 4 tahun di sekolah ini, yang sukses membuat otak gue beku.
Namun, yang sebenarnya gue pelajari selama 4 tahun disana adalah gue belajar arti kesabaran, bekerja keras, berusaha hingga lelah namun membuahkan hasil manis. Belajar arti perjuangan yang sesungguhnya. Berhasil lulus dari sana dengan nilai yang tidak pas-pasan dan dengan mudahnya diterima bekerja di perusahaan-perusahaan adalah buah termanis yang gue terima. Setiap decak kagum dan pandangan terpesona juga merupakan buah hasil karya perjuangan selama 4 tahun itu. Walaupun mungkin ada seribu kata menyerah dan putus asa dan satu kata penyesalan yang mendalam, semua itu terbayar sudah..
Thank you, SMAKBO, for being a real life school for me.. Sekolah Kehidupan yang menyisakan sejuta cerita, bahkan beribu lembar kertas tak mampu menggambarkan dan menceritakan banyak hal yang gue dapetin disana.
Ya, walaupun pada akhirnya gue menemukan visi dan panggilan hidup gue untuk mempelajari Ilmu Komunikasi, tapi semua ilmu yang telah gue pelajari di Sekolah Kehidupan itu memperlengkapi gue untuk menjadi lebih baik.. Nothing to lose
Tapi sayangnya, ada satu hal yang tetep gue bawa sampe gue segede gini.
KEDODOLAN gue. Terus melekat, seakan tak mau pergi..
Dessy Donat
[…] Belajar Kimia 4 Tahun, Gimana Rasanya? […]
LikeLike