
Proses pemilihan dan pencarian jurusan di bangku perkuliahan adalah keputusan tersulit yang pernah gue ambil di hidup ini, yang akhirnya mendaratkan kaki gue di kampus yang beberapa saat lalu gue pijak.
Ya, secara jurusan yang gue ambil ini akan menentukan langkah yang akan gue tempuh di masa depan. Gue sempet doa puasa selama 1 bulan untuk mendapatkan ilham dan hikmat terbaik dari Tuhan. Gue tekun berdoa sambil bolak-balik buku-buku soal. Cuma bolak-balik aja sih, ga gue baca juga..
Awalnya, gue pikir teknologi pangan adalah jurusan terbaik dan tercocok yang pantas untuk gue pertimbangkan. Tapi kembali mengingat bahwa kemampuan gue dalam membedakan makanan basi sangatlah buruk, gue pun mengurungkan niat tersebut. Begitu juga dengan kenyataan pahit yang gue terima sewaktu mencoba mendaftarkan diri untuk masuk ke jurusan teknologi pangan di salah satu universitas negeri terkemuka di Bogor. Gue udah nyoba jalur raport, jalur mandiri, sampai jalur SNMPTN dan tidak satupun yang membuahkan hasil yang ba-ik. Semua harus berakhir dengan kata “Maaf, Anda belum pantas untuk diterima di kampus kami ini. Maaf, kami tidak membutuhkan seseorang dengan basic pengenalan antara makanan basi dan tidak basi yang buruk seperti Anda”
Gue pun galau. Proses ini berlangsung panjang.
Sampai akhirnya gue memutuskan untuk memilih tujuan lain yang lebih pasti dan bermasa depan cerah: STAN. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Wah, pasti enak tuh kerja jadi pegawai negeri. Kerja santai, gaji gede, pulang cepet, tabungan banyak, bisa jalan-jalan terus, dan sebagainya dan sebagainya yang berkeliaran di otak gue. Alhasil buku latihan STAN pun hampir selesai gue pelajari seluruhnya hingga akhirnya kenyataan pahit membuyarkan mimpi dan harapan mulia gue itu. Tahun itu, STAN hanya membuka kelas untuk program studi D1 dan hanya untuk 2 jurusan, yang satu diantaranya khusus untuk laki-laki.
Gue masih belum menyerah, kali ini gue berusaha lebih giat lagi, sebelum akhirnya, fakta menyakitkan lainnya menghancurkan mimpi gue itu. Di saat gue mengisi form pendaftaran penerimaan mahasiswa baru, tepat pada kolom tanggal lahir, tahun gue lahir itu tidak dapat dipilih, tahun 1990. Gue cuma bisa terduduk lemas ketika melihat tanggal lahir terakhir yang masih memenuhi persyaratan untuk menjadi calon mahasiswa di STAN. Tanggalnyas jelas-jelas jauh dari tanggal lahir gue.
Emang apa salahnya kalo di usia gue yang segini (20 tahun lebih dikit) gue pengen kuliah disana?
Kenapa? Kenapa?
Gue pun semakin kehilangan arah dan tujuan.
Tapi gue masih yakin banget kalo gue pantes masuk akuntansi.
Gue pun mencari semakin banyak info soal akuntansi dan menemukan kenyataan bahwa gue ga punya basic sama sekali selain pelajaran ekonomi yang gue dapet sewaktu SMP. Itupun telah menguap sempurna dari otak gue.
Ditambah dengan kejadian abstrak sewaktu tiba-tiba gue ditarik menjadi staff di kantor dengan tugas me-review laporan yang tebel-tebel setebel novel-novel ajaib, gue stress. Gue sering menggila pas meriksa tuh laporan. Gue suka gila tiba-tiba kalo kebanyakan liat angka sama huruf. Kecerdasan gue sering menghilang secara drastic, dan gue pun menyadari satu hal. Gue ga pantes kerja di tempat-tempat yang hanya berhubungan dengan benda semacam laporan dan computer. Gue butuh ketemu orang, gue butuh ngomong atau sekedar curcol tentang apapun yang gue rasain. Intinya gue lebih suka ketemu sama banyak orang dibandingin sama kertas, huruf, angka ataupun computer yang isinya berbagai aplikasi pengerjaan tugas kantoran. Gue cuma suka computer dalam hal chatting, oovo-an, facebook-an atau sekedar browsing nyari info (ini sekitar tahun 2010-an btw) Oya satu lagi, gue suka main game. Pernah ke-gap juga sewaktu lagi ngantor. Pas lagi panic, suara efek dari games yang gue mainin, susah banget gue matiin di depan Bu Boss.
Sebagai hasil akhir dari pencarian jati diri gue soal jurusan yang bakal gue tekunin, akhirnya gue menemukan komunikasi sebagai jurusan terbaik dan tercocok dengan kepribadian gue. Makasih banyak buat tante yang baik hati yang dengan rela hati menjelaskan hasil psikotest dan finger print dari jari-jari gue yang buntet tapi mempesona ini. You’re all I need.
Setelah itu, gue masih harus pusing mengenai kampus mana yang harus gue pilih. Gue maunya yang murah, tapi bagus dan cukup dikenal banyak orang, harus bisa ditempuh pulang-pergi dengan cepet dan gampang, gue ga mau ngekos segala, gue ga mau yang banyak peraturannya, gue mau yang lama liburnya, mau yang nyantai dosen-dosennya, dan sebagainya dan sebagainya.
Dengan melihat criteria yang gue tetapkan dalam memilih kampus, udah jelas banget kalo universitas negeri harus segera dicoret dari semua list yang ada. Selanjutnya gue tertarik dengan sebuah universitas keren di daerah sudirman yang emang terkenal dengan majornya di bidang public relations, jurusan yang katanya emang udah tercetak jelas di sidik jari tangan gue dari orok (bayi). Tapi setelah gue tanya-tanya soal biaya semesteran dan biaya hidupnya, kayanya out of budget deh, ditambah lokasinya rada susah ditempuh kalo pulang pergi, akhirnya gue memutuskan untuk mencari kandidat kampus yang lain.
Temen gue yang lagi gencar-gencarnya jualan formulir kampusnya berhasil sedikit menarik perhatian gue soal kampusnya yang punya jurusan marketing communication, jurusan itu punya prospek dan masa depan yang jelas, kata dia sih. Kampusnya merupakan salah satu kampus besar dan terkemuka di Jakarta, terkenal karena fasilitasnya yang keren dan high-tech, dengan segala teknologi yang mengagumkan dan bakalan bikin lu tercengang-cengang, karena dengan satu kartu multifungsi aja, lu bisa dapetin lemper tanpa perlu uang tunai di kantinnya. Nih kampus wujudnya udah kayak mall, ada juga apartemen pribadinya. Gilee, keren bangett yee piker gue yang waktu itu masih lugu dan norak. Tapi kembali pada masalah jarak tempuh, dan segala macem tetek bengek biaya yang kemungkinan bakal gede, gue pun mengurungkan niat. Tapi satu hal, keajaiban terjadi dan Tuhan berkata lain, selanjutnya justru ade guelah yang masuk kampus itu.
Singkat cerita. Akhirnya gue pun berhasil menemukan kampus tercinta gue sekarang ini, kampus yang pas di hati, pas di kantong, pas buat mengejar mimpi gue, pas dengan segala ekspektasi gue, berkualitas dan cukup dipandang dengan segala aktifitas di dalamnya. Gue merasa bersyukur ada di jurusan dan kampus yang tepat. Walaupun, ya lu tau sendirilah ya, yang namanya cowok-cowok di jurusan komunikasi itu banyak yang metros dan jauuuuuuuuuuuuh lebih rapi plus lebih wangi dari gue. Mereka lebih sering bedakan (make bedak tebel-tebel) dan nyisir dibanding gue. Tapi semuanya justru memotivasi gue buat semakin terobsesi menjadi wanita yang sejati. Yeah! Hey communication, I’m coming!
Past is just a shadow. Find the real YOU in a mirror called FUTURE – Dessy Donat